Cerpen "Garisku" Oleh : Sonia Febiani Putri
Hiruk pikuk suara burung itu mungkin yang
membangunkanku. Seperti biasa aku harus berangkat sekolah,tapi tak tahu mengapa
badanku terasa lemas sehingga aku enggan untuk beranjak dari tempat tidurku yang
nyaman ini. Perlahan ku buka kedua mataku namun mengapa tidak ada sedikit pun cahaya
disini. Ku angkat kedua tanganku untuk menyusuri apa yang terjadi dan ternyata,
ada kain yang melilit kedua mataku.
Dengan
hati yang bertanya-tanya ada apa dengan semua ini?. Ahh.. sial pasti ini ulah
kakak ku yang resek itu pikirku.
“Ma..mamaaa....!!!”
teriakku dengan kesal. Ku dengar ada suara hentakan kaki yang mendekatiku dan berkata
“Lho kamu udah
bangun, uups! ma..maaf..dek, mama la..lagi keluar kota” kata kakakku Gavin dengan gagap dan terengah-engah.
“Loh..mama
keluar kota kok nggak pamit aku dulu sih” kataku dengan sedih.
“Giva kamu yang
sabar ya” kata seorang pria.
“Eh..tunggu dulu
sepertinya suara ini tidak asing di telingaku, siapa ya?” gumam ku dengan
heran.
“Aku cowok kamu
Va, masih ingat kan?” tambahnya lagi.
“Loh..loh..Erfan
ka..kamu kok disini, ehh tolong dong lepasin ikatan kain dimataku, aku nggak
bisa buka susah banget ini, cepet dong lepasin Fan! udah jam berapa ini
bisa-bisa telat lagi masuk sekolahnya. Ngomong-ngomong ini semua pasti ulah Kak
Gavin kan, dasar Kak Gavin resekkk..!!!” ucapku
dengan kesal.
“Giva..kamu
nggak boleh marah-marah gitu dong sama kakak kamu, mata kamu lagi infeksi, kata
dokter kamu nggak boleh buka ikatannya dulu sampai lima hari, jadi kamu harus
istrirahat di rumah. Kamu nggak mau kan kita semua tertular penyakit mata itu?”
jawab Erfan.
“What..!! Penyakit mata?? Tapi mana betah
aku selama itu di kamar tiduran terus nggak bisa apa-apa.” bentakku.
“Tenang Giva sayang, kan masih ada aku disini” kata
Erfan yang mencoba menghiburku.
Karena aku bosan berada di kamar
untuk waktu yang cukup lama, aku memutuskan keinginanku untuk beraktivitas
seperti biasanya, meskipun terhalang oleh kain yang melilit mataku. Kerap kali
aku merasa pusing karena belum terbiasa melakukan aktivitas dengan mata
tertutup. Erfan dan kakakku dengan sabar juga ikut membantuku melakukan segala
aktivitas yang mungkin tidak bisa aku lakukan dengan seorang diri. Jikalau aku
lelah berjalan Kak Gavin yang biasa menggendongku. Bahkan aku juga mencoba
hal-hal yang mungkin sulit dilakukan dengan mata tertutup seperti menulis,
melukis, bermain piano, dan sebagainya. Hari demi hari berlalu dengan sabarnya
aku melakukan semua itu, namun sempat terlintas di benakku apa guna aku
melakukan aktivitas konyol seperti ini toh aku sebentar lagi juga pasti sembuh.
Hal itulah yang membuatku mengakhiri aktivitasku selama dirumah itu.
Empat hari telah berlalu. Aku
semakin tidak sabar ingin melepas ikatannya karena aku tidak bisa menahan rasa
gatal dimataku ini. Selain itu, aku juga mulai suntuk berada dirumah sendirian
karena mamaku yang belum juga pulang dari luar kota, kakakku yang lagi kuliah,
ditambah lagi dengan Erfan yang sibuk sekolah. Memang sih sudah biasa aku
sendirian dirumah, karena kewajiban mama sebagai wanita karier dan juga
sekaligus ibu rumah tangga sehingga mama lah yang menjadi tulang punggung di
keluarga kecilku, yang menggantikan papa karena mereka sudah lama berpisah
sejak aku masih kecil. Meskipun hasratku yang sangat dan amat ingin bertemu
dengan papaku, tapi itu semua menjadi hal yang biasa bagiku mungkin karena aku
sudah lama tak pernah merasakan hangatnya suasana saat bersama papa. Mama memang
sengaja untuk tidak mempekerjakan tenaga pembantu di rumah ini, alasan mama
yang pertama, agar aku sama Kak Gavin lebih terbiasa hidup mandiri dan yang
kedua, agar keluarga kami lebih akrab dan juga harmonis.
Sore
hari, usai Kak Gavin pulang kuliah, aku memintanya agar mengajakku
berjalan-jalan di taman untuk sekedar refreshing
agar tidak jenuh dirumah. Malam hari, ketika aku berbaring di tempat tidur
tiba-tiba, “kringg..kringg...!!” suara handphone ku berbunyi, dengan meraba
meja belajarku akhirnya aku menemukannya, dan mengangkat teleponnya dengan
penasaran.
“Halo
assalamu’alaikum, apa benar ini Giva?” kata seseorang.
Walaikumsalam,
iya benar ini Giva, maaf ini siapa ya?”jawabku.
“Aku Doni teman
sekelasmu Va, kamu kemana aja kok lama banget nggak pernah masuk sekolah,
sebentar lagi Ulangan Tengah Semester lho Va”tambahnya lagi.
“Ohh..Doni aku
kira mamaku, iya nih Don mau gimana lagi aku masih sakit dirumah, tapi tenang
aja kata dokter besok mataku udah sembuh kok. Aku nggak mau kamu sama temen-temen
tertular penyakit mataku ini, makannya aku nggak boleh masuk sekolah dulu sama
kakaku” jelasku.
“Sabar ya
Va..aku sama temen-temen selalu do’ain kamu kok, kalo kamu udah sembuh segera
masuk sekolah ya kita semua kangen banget sama kamu, tapi yang paling kangen
sebenarnya aku sih..hehehe” kata Doni sambil tertawa.
“Hahaha..bisa
aja kamu Don, awas lho kamu ngomong gitu ntar ada yang cemburu” jawabku.
“Waduhh..maaf Va aku lupa, aku kira kamu
udah putus sama Erfan, ku do’ain deh moga-moga kamu langgeng sama dia”katanya
agak lirih.
“Iya Don nggak
apa-apa santai aja kita kan friend, amin
makasih Don udah telepon aku jadinya malam ini aku nggak kesepian deh “ jawabku.
“Emang Erfan nggak pernah telepon
kamu? Kok kamu sampai kesepian gitu. Hahh..cowok apa’an tuh! Pacar lagi sakit
juga nggak peduli sama sekali” katanya.
“Udah deh Don
kamu nggak usah sok tau tentang hubunganku sama Erfan”jawabku dengan nada agak
keras. Tiba-tiba “tiiiiitttttt....”,
“ahh sial udah dimatiin, dasar cowok sotoy!”
bentakku.
Tak tahu kenapa selama aku berpacaran dengan
Erfan, sikap Doni kepadaku berubah drastis. Aku juga sempat berfikir
jangan-jangan dia cemburu terhadap hubunganku dengan Erfan, tapi itu nggak mungkin
juga soalnya, setahu ku Doni suka sama teman cewek di kelasku. Doni memang
murid baru di sekolahku dia baru pindah dari Bandung dan sekarang dia tinggal
di Yogyakarta bersama kakaknya. Meskipun dia baru tiga bulan sekolah di SMASR
(Sekolah Menengah Atas Seni Rupa), tetapi aku sudah mengenalnya begitu dekat
dan dia sudah ku anggap lebih dari sahabatku melainkan juga seperti kakakku
sendiri. Dia itu orangnya humoris, sholeh, dewasa lagi, pokoknya baik banget
deh. Tapi itu dulu, sekarang Doni suka marah-marah nggak jelas, dan itu bikin
aku jadi bad mood di kelas apalagi
dia juga sebangku denganku. Entah kenapa malam ini aku susah tidur, padahal
besok aku sudah bebas dari kain yang melilit mataku ini tapi disisi lain aku
masih memikirkan kata Doni di telepon tadi yang menyinggung tentang hubunganku
dengan Erfan.
“Dek..bangunn
dek..!!” aku terbangun dari tidurku dengan serentak mendengar suara Kak Gavin yang
membangunkanku. Cepat sekali malam kemarin berlalu pikirku, tiba-tiba ada orang
berkata sambil memegang tanganku.
“Adek cantik
tenang ya nggak usah takut ini Dokter Hadi”.
“Loh..sekarang
waktunya ya dok? Ayo dok aku udah nggak sabar nih pengen kayak biasanya lagi!” kataku
dengan semangat.
“Tunggu dok
jangan dibuka dulu!” Kata Kak Gavin.
“Kenapa sih
kak..ini kan udah sesuai perjanjiannya sama dokter!” bentakku.
“Iya adek tapi..”
sambil memegang erat tanganku.
“Sssttt..udah
lah kak jangan banyak omong biarin dokter ngelakuin tugasnya, oke!!” kataku
dengan ceria.
Perlahan-lahan
dokter mulai menggunting perban yang melilit di mataku ini, sambil berkata
dalam hati “Yeahh..sebentar lagi aku bebas!!”.
“Gimana dek udah
siap?” kata dokter.
“Ya siap dong dok!”
jawabku dengan semangat.
Setelah dokter
membuka lilitan yang terakhir, aku mencoba membuka kedua mataku perlahan-lahan
tapi tiba-tiba kakakku memegang tanganku semakin erat.
“Dok kok masih
gelap gini, apa belum selesai bukanya ya?” tanyaku.
“Loh Vin kamu
belum ngasih tau adekmu tentang masalah ini?” kata dokter. Kak Gavin hanya bisa
menunduk dan menghembuskan nafas panjang.
“Sebenarnya ada apa dengan semua
ini dok?” tanyaku dengan heran.
“Maaf dek
ka..kamu.. bu..butaa..” Kata Kak Gavin sambil menangis dan memelukku.
Serentak aku
hanya bisa terdiam dan merasa tak percaya atas semua ini, sambil berkata
“Kak kenapa
kakak dan Erfan tega bohongin aku? Kenapa juga mama nggak ada disampingku
disaat Giva dalam keadaan kayak gini? Kenapa kak..kenapa??” tanyaku denagn
lirih.
“Kakak nggak
tega Va ngelihat kamu sedih terus, kakak nggak mau kehilangan semua
keceriaanmu, maaf banget kakak dan Erfan udah sekongkol buat bohongin kamu, dan
sebenarnya mama itu sekarang lagi di penjara dek”jawab Kak Gavin.
“Loh mama kenapa
dipenjara kak? Mama salah apa?”kataku dengan heran.
“Kamu jadi
korban kecelakaan Va setelah itu, Mama dipenjara karena udah dituduh sama papa
nyelakain kamu sampai kamu jadi seperti sekarang ini, kamu sempat koma 7 minggu
Va dan kamu sekarang juga nggak bisa melihat lagi, jujur kakak sempat putus asa
dengan semua kenyataan ini, kakak bingung dek mau gimana lagi, kakak ngerasa
cuman sebatang kara yang udah rapuh. Kamu yang sabar ya Va, maaf kakak baru
bilang sekarang soalnya kakak masih nunggu waktu yang tepat buat ngomong ke
kamu, aku cuma nggak mau buat kamu syok gara-gara denger kabar ini. Sekali lagi
kakak minta maaf banget dek!” kata Kak Gavin sambil menitihkan air mata.
Setelah ku mendengar itu semua jantungku serasa
berhenti berdetak, aku terdiam dan menangis membalas pelukan dari Kak Gavin.
Sejak
itulah aku jarang keluar rumah, aku lebih sering mengurung diri di kamar usai
pulang sekolah. Sempat aku marah karena mendengar cacian dari teman-temanku di
sekolah, sampai-sampai ada salah satu dari mereka yang menyuruhku pindah
sekolah di SMALB, tapi itu semua ku terima dengan sabar, pernah juga aku
menangis dan berfikir tiada guna lagi aku hidup di dunia ini tanpa bisa
melihat, namun aku yakin Allah punya cara yang lain buat ku bahagia. “Va..dicari
Doni nih, dibolehin masuk nggak?” teriak Kak Gavin sambil mengetuk pintu
kamarku.
“Iya kak boleh”
jawabku. Doni pun permisi kepada Kak Gavin untuk menemui ku di kamar, setelah
dia masuk di kamarku dia duduk di samping tempat tidurku dan berkata
“Va..ini aku
Doni, aku mau bilang sebenernya aku udah tau tentang kejadian yang kamu alami
semua, tapi aku nggak boleh bilang sama kakakmu. Teman-teman tadi mungkin kaget
aja kamu masih hidup mereka fikir kamu udah mati padahal kamu lagi koma, kamu
jangan fikirin kata-kata mereka yang ngejek kamu ya, kata kepala sekolah kamu
juga masih dibolehin sekolah disitu kok, kamu kan murid berprestasi di sekolah
kita. Aku yakin meskipun kamu dalam keadaan kayak gini kamu masih bisa meraih
cita-citamu kelak”.
“Makasih banyak
Don kamu udah ngasih aku motivasi, apa kamu mau nganter aku ke sekolah
sekarang? Aku kangen sama Erfan dan aku pengen ngomong sesuatu sma dia, please anterin aku ya!” kataku dengan memohon.
“Tentu Va, ayo kita kesana!” jawab Doni.
Sesampainya
di sekolah tepatnya di lapangan basket yang pada saat itu sedang berlangsung
sparing. “Wahh..kelihatannya Erfan lagi sibuk deh Va, gimana ini apa kamu mau
tetep ngomong sama dia?” kata Doni. Aku pun berjalan menggunakan tongkat menuju
lapangan yang ramai dengan teriakkan penonton, aku berteriak memanggil nama
Erfan dan apa akhirnya, dia pun menemuiku dan berkata
“Udah Va sana pergi! ngapain kamu
disini kita kan udah putus jadi mulai sekarang nggak usah temui aku lagi, jujur
aku malu Va diejek sama temen-temen, masak cowok kayak aku pacaran sama gadis
buta sepertimu, jadi aku mohon jauhi aku anggap saja kita nggak pernah kenal”.
“Mungkin kau
kecewa semua datang yang tak kau minta, namun ini semua kenyataan kita, tapi
apa daya cintaku yang tulus ini tidak bisa membuatmu bahagia hanya karena aku
gadis buta” kataku dengan lirih.
“Maaf aku mau
tanding dulu, semoga kamu punya pengganti yang lebih baik dariku”.
Doni berlari dan
menghampiriku dia berkata “Va kamu udah ketemu Erfan kan? Tapi kenapa kamu
nangis gitu?”.
“Erfan udah mutusin aku Don dia malu punya pacar
buta kayak aku, dia tadi juga ngusir aku dan segitu mudahnya dia bilang buat
ngganggap aku nggak pernah kenal sama dia. Udah Don ayo pergi dari sini, aku
nggak kuat” kataku dengan berlinangan air mata.
Setibanya
dirumah, aku dan Doni berjalan menuju taman belakang rumahku. Aku dan Doni
duduk di ayunan, sambil memegang tanganku Doni berkata,
“Waktu kita
lelah dalam menjalani semua macam kisah dalam hidup ini, kadang kita lemah dan hanya
mampu untuk pasrah, saat kenyataan tidak sejalan dengan harapan mu, atau saat
keyakinan hilang dalam kepahitan, ingat Va, tetaplah tabah setidaknya kau sudah
mencoba menjadi lebih baik dalam jalan hidup ini. Janganlah resah tiada waktu
menjawabnya, tenang saja aku akan selalu ada saat kau butuh aku kapan pun itu”.
“Iya Don makasih
tapi aku belum bisa ngelupain Erfan secepat dia mutusin aku tadi” kataku.
“Kau harus
bersabar semua akan indah pada waktunya, santai saja kawan, ikuti kata hati mu biarkan
sedihmu berlalu, aku yakin kau pasti bisa. Cobalah menjadi suatu hari dengan
pagi yang baru. Jadi, tenang saja kawan, hadapilah semua, aku ingin menjalin
hubungan denganmu Va dan itu lebih dari sekedar teman, jujur aku sayang kamu.
Aku tak peduli seburuk apapun fisikmu, cintaku tak pernah peduli siapa kamu tak
menginginkan kamu lebih dari apa adanya dirimu. Jadi gimana apa kamu mau jadi
pacarku Va?” kata Doni.
“Tapi aku masih
trauma dengan semua ini Don, aku takut kesetiaanku kamu ingkari sama halnya
seperti apa yang udah dilakuin Erfan ke aku” jawabku.
“Aku ya aku Erfan ya Erfan jadi
jangan pernah kamu samakan antara aku dengan Erfan, cintaku ini tulus buat
kamu. Tolong jawab sekarang apa kamu mau jadi pacarku?” ujar Doni.
“Jujur saja
sebenarnya aku juga suka sama kamu Don, aku ngerasa nyaman sama kamu tapi apa daya aku
dulu udah sama Erfan dan aku mengubur
dalam-dalam rasa suka ku ke kamu. Selama
ini kamu benar, aku salah udah terlalu percaya sama Erfan sampai-sampai aku
nggak pernah nggubris semua omonganmu, mungkin ini saatnya aku harus ngelupain
Erfan dan aku terima kamu jadi pacarku” kataku.
“Alhamdulillah..akhirnya setelah
sekian lama keinginanku terwujud juga, aku nggak mau asal sekedar janji aku mau
buktiin ke kamu kalau aku setia sama kamu sekarang dan selamanya”jawab Doni
dengan menghapus air mata ku.
“Iya sayang, aku juga bakalan buktiin ke kamu kalau
aku juga setia dengan hubungan kita” kataku dengan tersenyum.
Satu minggu telah berlalu, Kak Gafin
yang juga sudah merestui hubunganku dengan Doni karena dia merasa senang karena
setiap waktu Doni berusaha menghibur kesendirianku dengan sabarnya dia kadang
menyuapiku ketika aku tidak nafsu makan, kemarin pun dia bersedia mengantarku
dan Kak Gafin untuk menjenguk mama di penjara. Sampai keesokan harinya saat
ujian melukis, aku hanya diam di depan kanvasku sedangkan teman-teman di
kelasku menertawai sekaligus mengejek kemampuanku. Doni pun beranjak dari
kursinya dan menghampiriku, dia berbisik kepadaku “Yakin kamu pasti bisa
sayang, aku tahu banyak sekali imajinasi di dalam fikiranmu, meskipun kamu
tidak bisa melihat tapi hati mu takkan pernah buta, kamu juga masih punya kedua
tangan untuk berkarya. Buktikan kepada semua bahwa kamu tidak selemah yang
mereka fikirkan”. Aku langsung memegang kuas dan mulai menggoreskan cat di
kanvas dan aku memutuskan untuk melukis abstrak seperti apa yang saat ini aku
rasakan. Tiga jam kemudian lukisanku telah selesai, aku terkejut karena pak
guru dan juga teman-teman memberi tepuk tangan kepadaku atas hasil karyaku ini.
Sungguh cepat rasanya usia ku
sebentar lagi sudah 17 tahun, aku penasaran dengan apa yang akan Doni berikan
kepadaku, katanya kadonya sangat istimewa. Keesokan harinya tepat pada tanggal
8 Februari 2013, aku sengaja bangun tepat tengah malam untuk menunggu ucapan
dari Doni tetapi lama sekali, dan akhirnya aku tertidur lagi karena masih mengantuk.
Pagi harinya, tidak ada kabar apapun dari Doni aku sempat gelisah
memikirkannya. Beberapa saat kemudian Kak Gafin mengajakku ke rumah sakit untuk
mengontrol keadaan mataku. Kata dokter ada persediaan donor mata, aku sangat
senang sekali mendengarnya, dan saat itu juga aku memutuskan untuk ingin segera
di operasi secepatnya. Delapan jam kemudian operasi selesai dokter menyuruhku
untuk membuka mataku dan akhirnya berhasil aku sudah bisa melihat kembali
seperti dulu lagi, sungguh senang sekali rasanya aku ingin secepatnya bertemu
dengan Doni untuk merayakan hari ulang tahun sekaligus hari bahagiaku ini.
Sesampainya
dirumah Kak Gafin dengan raut wajah yang muram memberiku sebuah kado dan dia bilang
kado dari Doni. Dengan penasaran aku membukanya dan ternyata isinya adalah
hanya sebuah CD. Oh mungkin kejutannya sebuah video darinya fikirku. Dengan
bergegas aku duduk di depan televisi dan mulai memutar CD nya. Dalam CD
tersebut tergambar seorang lelaki yang sedang di operasi karena penyakit
jantung, tetapi pada akhirnya dia meninggal dunia, aku bingung apa maksud dari
semua ini. Tetapi setelah itu ada video Doni sedang berbaring di tempat tidur
dan berkata “Gifa sayang selamat ulang tahun ya, semoga sehat dan sukses
selalu. Maaf aku tidak bisa menghabiskan hari bahagiamu ini bersama-sama karena
mungkin ini sudah waktuku. Aku harap kamu senang menerima kado dariku, itu
semua adalah berkat kesabaran dan kerja kerasmu selama ini jadi kamu berhak
menerimanya. Meskipun aku telah tiada tapi disetiap hembus nafasmu aku akan
selalu menghiasi hari-harimu sehingga menjadi kian berwarna. Jaga baik-baik
pemberian dari Allah yang dititipkan kepadaku ya sayang, aku sayang kamu Giva”.
Sekarang aku sudah tahu maksud dari video ini, aku menangis setelah melihatnya,
di sisi lain aku memang sedang bahagia tapi di sisi lain pula aku merasa semua
kebahagiaan ini tiada artinya tanpa Doni di sampingku. “Ya Allah terimakasih
Kau telah menganugerahkan Doni kepadaku, ini adalah sebuah hadiah terindah yang
pernah dia berikan, semoga dia tenang disisi-Mu, Aminn....”
“Yang sabar ya dek, kamu harus buat
Doni bangga meskipun raganya tiada lagi bersamamu. Kamu harus tegar jangan
pernah buat Doni kecewa ataupun sedih melihatmu gelisah, Masih ada kakak, mama
dan juga teman-temanmu yang setia bersamamu” kata Kak Gavin sambil menepuk
pundakku.
“Iya kak itu
pasti” jawabku dengan terisak-isak.
0 komentar:
Posting Komentar