Pages

Ads 468x60px

Senin, 22 Juli 2013

"Garisku"


                Cerpen "Garisku"   Oleh : Sonia Febiani Putri
                            Hiruk pikuk suara burung itu mungkin yang membangunkanku. Seperti biasa aku harus berangkat sekolah,tapi tak tahu mengapa badanku terasa lemas sehingga aku enggan untuk beranjak dari tempat tidurku yang nyaman ini. Perlahan ku buka kedua mataku  namun mengapa tidak ada sedikit pun cahaya disini. Ku angkat kedua tanganku untuk menyusuri apa yang terjadi dan ternyata, ada kain yang melilit kedua mataku.
                        Dengan hati yang bertanya-tanya ada apa dengan semua ini?. Ahh.. sial pasti ini ulah kakak ku yang resek itu pikirku.
“Ma..mamaaa....!!!” teriakku dengan kesal. Ku dengar ada suara hentakan kaki yang  mendekatiku dan  berkata
“Lho kamu udah bangun, uups! ma..maaf..dek, mama la..lagi keluar kota” kata kakakku  Gavin dengan gagap dan terengah-engah.
“Loh..mama keluar kota kok nggak pamit aku dulu sih” kataku dengan sedih.
“Giva kamu yang sabar ya” kata seorang pria.
“Eh..tunggu dulu sepertinya suara ini tidak asing di telingaku, siapa ya?” gumam ku dengan heran.
“Aku cowok kamu Va, masih ingat kan?” tambahnya lagi.
“Loh..loh..Erfan ka..kamu kok disini, ehh tolong dong lepasin ikatan kain dimataku, aku nggak bisa buka susah banget ini, cepet dong lepasin Fan! udah jam berapa ini bisa-bisa telat lagi masuk sekolahnya. Ngomong-ngomong ini semua pasti ulah Kak Gavin kan, dasar Kak Gavin resekkk..!!!” ucapku  dengan kesal.
“Giva..kamu nggak boleh marah-marah gitu dong sama kakak kamu, mata kamu lagi infeksi, kata dokter kamu nggak boleh buka ikatannya dulu sampai lima hari, jadi kamu harus istrirahat di rumah. Kamu nggak mau kan kita semua tertular penyakit mata itu?” jawab Erfan.
What..!! Penyakit mata?? Tapi mana betah aku selama itu di kamar tiduran terus nggak bisa apa-apa.” bentakku.
“Tenang Giva sayang, kan masih ada aku disini” kata Erfan yang mencoba menghiburku.
                        Karena aku bosan berada di kamar untuk waktu yang cukup lama, aku memutuskan keinginanku untuk beraktivitas seperti biasanya, meskipun terhalang oleh kain yang melilit mataku. Kerap kali aku merasa pusing karena belum terbiasa melakukan aktivitas dengan mata tertutup. Erfan dan kakakku dengan sabar juga ikut membantuku melakukan segala aktivitas yang mungkin tidak bisa aku lakukan dengan seorang diri. Jikalau aku lelah berjalan Kak Gavin yang biasa menggendongku. Bahkan aku juga mencoba hal-hal yang mungkin sulit dilakukan dengan mata tertutup seperti menulis, melukis, bermain piano, dan sebagainya. Hari demi hari berlalu dengan sabarnya aku melakukan semua itu, namun sempat terlintas di benakku apa guna aku melakukan aktivitas konyol seperti ini toh aku sebentar lagi juga pasti sembuh. Hal itulah yang membuatku mengakhiri aktivitasku selama dirumah itu.
                        Empat hari telah berlalu. Aku semakin tidak sabar ingin melepas ikatannya karena aku tidak bisa menahan rasa gatal dimataku ini. Selain itu, aku juga mulai suntuk berada dirumah sendirian karena mamaku yang belum juga pulang dari luar kota, kakakku yang lagi kuliah, ditambah lagi dengan Erfan yang sibuk sekolah. Memang sih sudah biasa aku sendirian dirumah, karena kewajiban mama sebagai wanita karier dan juga sekaligus ibu rumah tangga sehingga mama lah yang menjadi tulang punggung di keluarga kecilku, yang menggantikan papa karena mereka sudah lama berpisah sejak aku masih kecil. Meskipun hasratku yang sangat dan amat ingin bertemu dengan papaku, tapi itu semua menjadi hal yang biasa bagiku mungkin karena aku sudah lama tak pernah merasakan hangatnya suasana saat bersama papa. Mama memang sengaja untuk tidak mempekerjakan tenaga pembantu di rumah ini, alasan mama yang pertama, agar aku sama Kak Gavin lebih terbiasa hidup mandiri dan yang kedua, agar keluarga kami lebih akrab dan juga harmonis.
                        Sore hari, usai Kak Gavin pulang kuliah, aku memintanya agar mengajakku berjalan-jalan di taman untuk sekedar refreshing agar tidak jenuh dirumah. Malam hari, ketika aku berbaring di tempat tidur tiba-tiba, “kringg..kringg...!!” suara  handphone ku berbunyi, dengan meraba meja belajarku akhirnya aku menemukannya, dan mengangkat teleponnya dengan penasaran.
“Halo assalamu’alaikum, apa benar ini Giva?” kata seseorang.
Walaikumsalam, iya benar ini Giva, maaf ini siapa ya?”jawabku.
“Aku Doni teman sekelasmu Va, kamu kemana aja kok lama banget nggak pernah masuk sekolah, sebentar lagi Ulangan Tengah Semester lho Va”tambahnya lagi.
“Ohh..Doni aku kira mamaku, iya nih Don mau gimana lagi aku masih sakit dirumah, tapi tenang aja kata dokter besok mataku udah sembuh kok. Aku nggak mau kamu sama temen-temen tertular penyakit mataku ini, makannya aku nggak boleh masuk sekolah dulu sama kakaku” jelasku.
“Sabar ya Va..aku sama temen-temen selalu do’ain kamu kok, kalo kamu udah sembuh segera masuk sekolah ya kita semua kangen banget sama kamu, tapi yang paling kangen sebenarnya aku sih..hehehe” kata Doni sambil tertawa.
“Hahaha..bisa aja kamu Don, awas lho kamu ngomong gitu ntar ada yang cemburu” jawabku. “Waduhh..maaf  Va aku lupa, aku kira kamu udah putus sama Erfan, ku do’ain deh moga-moga kamu langgeng sama dia”katanya agak lirih.
“Iya Don nggak apa-apa santai aja kita kan friend, amin makasih Don udah telepon aku jadinya malam ini aku nggak kesepian deh “ jawabku.
“Emang Erfan nggak pernah telepon kamu? Kok kamu sampai kesepian gitu. Hahh..cowok apa’an tuh! Pacar lagi sakit juga nggak peduli sama sekali” katanya.
“Udah deh Don kamu nggak usah sok tau tentang hubunganku sama Erfan”jawabku dengan nada agak keras. Tiba-tiba “tiiiiitttttt....”,
“ahh sial udah dimatiin, dasar cowok sotoy!” bentakku.
                         Tak tahu kenapa selama aku berpacaran dengan Erfan, sikap Doni kepadaku berubah drastis. Aku juga sempat berfikir jangan-jangan dia cemburu terhadap hubunganku dengan Erfan, tapi itu nggak mungkin juga soalnya, setahu ku Doni suka sama teman cewek di kelasku. Doni memang murid baru di sekolahku dia baru pindah dari Bandung dan sekarang dia tinggal di Yogyakarta bersama kakaknya. Meskipun dia baru tiga bulan sekolah di SMASR (Sekolah Menengah Atas Seni Rupa), tetapi aku sudah mengenalnya begitu dekat dan dia sudah ku anggap lebih dari sahabatku melainkan juga seperti kakakku sendiri. Dia itu orangnya humoris, sholeh, dewasa lagi, pokoknya baik banget deh. Tapi itu dulu, sekarang Doni suka marah-marah nggak jelas, dan itu bikin aku jadi bad mood di kelas apalagi dia juga sebangku denganku. Entah kenapa malam ini aku susah tidur, padahal besok aku sudah bebas dari kain yang melilit mataku ini tapi disisi lain aku masih memikirkan kata Doni di telepon tadi yang menyinggung tentang hubunganku dengan Erfan.
                        “Dek..bangunn dek..!!” aku terbangun dari tidurku dengan serentak mendengar suara Kak Gavin yang membangunkanku. Cepat sekali malam kemarin berlalu pikirku, tiba-tiba ada orang berkata sambil memegang tanganku.
“Adek cantik tenang ya nggak usah takut ini Dokter Hadi”.
“Loh..sekarang waktunya ya dok? Ayo dok aku udah nggak sabar nih pengen kayak biasanya lagi!” kataku dengan semangat.
“Tunggu dok jangan dibuka dulu!” Kata Kak Gavin.
“Kenapa sih kak..ini kan udah sesuai perjanjiannya sama dokter!” bentakku.
“Iya adek tapi..” sambil memegang erat tanganku.
“Sssttt..udah lah kak jangan banyak omong biarin dokter ngelakuin tugasnya, oke!!” kataku dengan ceria.
Perlahan-lahan dokter mulai menggunting perban yang melilit di mataku ini, sambil berkata dalam hati “Yeahh..sebentar lagi aku bebas!!”.
“Gimana dek udah siap?” kata dokter.
“Ya siap dong dok!” jawabku dengan semangat.
Setelah dokter membuka lilitan yang terakhir, aku mencoba membuka kedua mataku perlahan-lahan tapi tiba-tiba kakakku memegang tanganku semakin erat.
“Dok kok masih gelap gini, apa belum selesai bukanya ya?” tanyaku.
“Loh Vin kamu belum ngasih tau adekmu tentang masalah ini?” kata dokter. Kak Gavin hanya bisa menunduk dan menghembuskan nafas panjang.
“Sebenarnya ada apa dengan semua ini dok?” tanyaku dengan heran.
“Maaf dek ka..kamu.. bu..butaa..” Kata Kak Gavin sambil menangis dan memelukku.
Serentak aku hanya bisa terdiam dan merasa tak percaya atas semua ini, sambil berkata
“Kak kenapa kakak dan Erfan tega bohongin aku? Kenapa juga mama nggak ada disampingku disaat Giva dalam keadaan kayak gini? Kenapa kak..kenapa??” tanyaku denagn lirih.
“Kakak nggak tega Va ngelihat kamu sedih terus, kakak nggak mau kehilangan semua keceriaanmu, maaf banget kakak dan Erfan udah sekongkol buat bohongin kamu, dan sebenarnya mama itu sekarang lagi di penjara dek”jawab Kak Gavin.
“Loh mama kenapa dipenjara kak? Mama salah apa?”kataku dengan heran.
“Kamu jadi korban kecelakaan Va setelah itu, Mama dipenjara karena udah dituduh sama papa nyelakain kamu sampai kamu jadi seperti sekarang ini, kamu sempat koma 7 minggu Va dan kamu sekarang juga nggak bisa melihat lagi, jujur kakak sempat putus asa dengan semua kenyataan ini, kakak bingung dek mau gimana lagi, kakak ngerasa cuman sebatang kara yang udah rapuh. Kamu yang sabar ya Va, maaf kakak baru bilang sekarang soalnya kakak masih nunggu waktu yang tepat buat ngomong ke kamu, aku cuma nggak mau buat kamu syok gara-gara denger kabar ini. Sekali lagi kakak minta maaf banget dek!” kata Kak Gavin sambil menitihkan air mata.
Setelah ku mendengar itu semua jantungku serasa berhenti berdetak, aku terdiam dan menangis membalas pelukan dari Kak Gavin.
                        Sejak itulah aku jarang keluar rumah, aku lebih sering mengurung diri di kamar usai pulang sekolah. Sempat aku marah karena mendengar cacian dari teman-temanku di sekolah, sampai-sampai ada salah satu dari mereka yang menyuruhku pindah sekolah di SMALB, tapi itu semua ku terima dengan sabar, pernah juga aku menangis dan berfikir tiada guna lagi aku hidup di dunia ini tanpa bisa melihat, namun aku yakin Allah punya cara yang lain buat ku bahagia. “Va..dicari Doni nih, dibolehin masuk nggak?” teriak Kak Gavin sambil mengetuk pintu kamarku.
“Iya kak boleh” jawabku. Doni pun permisi kepada Kak Gavin untuk menemui ku di kamar, setelah dia masuk di kamarku dia duduk di samping tempat tidurku dan berkata
“Va..ini aku Doni, aku mau bilang sebenernya aku udah tau tentang kejadian yang kamu alami semua, tapi aku nggak boleh bilang sama kakakmu. Teman-teman tadi mungkin kaget aja kamu masih hidup mereka fikir kamu udah mati padahal kamu lagi koma, kamu jangan fikirin kata-kata mereka yang ngejek kamu ya, kata kepala sekolah kamu juga masih dibolehin sekolah disitu kok, kamu kan murid berprestasi di sekolah kita. Aku yakin meskipun kamu dalam keadaan kayak gini kamu masih bisa meraih cita-citamu kelak”.
“Makasih banyak Don kamu udah ngasih aku motivasi, apa kamu mau nganter aku ke sekolah sekarang? Aku kangen sama Erfan dan aku pengen ngomong sesuatu sma dia, please anterin aku ya!”  kataku dengan memohon.
“Tentu Va, ayo kita kesana!” jawab Doni.
                        Sesampainya di sekolah tepatnya di lapangan basket yang pada saat itu sedang berlangsung sparing. “Wahh..kelihatannya Erfan lagi sibuk deh Va, gimana ini apa kamu mau tetep ngomong sama dia?” kata Doni. Aku pun berjalan menggunakan tongkat menuju lapangan yang ramai dengan teriakkan penonton, aku berteriak memanggil nama Erfan dan apa akhirnya, dia pun menemuiku dan berkata
“Udah Va sana pergi! ngapain kamu disini kita kan udah putus jadi mulai sekarang nggak usah temui aku lagi, jujur aku malu Va diejek sama temen-temen, masak cowok kayak aku pacaran sama gadis buta sepertimu, jadi aku mohon jauhi aku anggap saja kita nggak pernah kenal”.
“Mungkin kau kecewa semua datang yang tak kau minta, namun ini semua kenyataan kita, tapi apa daya cintaku yang tulus ini tidak bisa membuatmu bahagia hanya karena aku gadis buta” kataku dengan lirih.
“Maaf aku mau tanding dulu, semoga kamu punya pengganti yang lebih baik dariku”.
Doni berlari dan menghampiriku dia berkata “Va kamu udah ketemu Erfan kan? Tapi kenapa kamu nangis gitu?”.
“Erfan udah mutusin aku Don dia malu punya pacar buta kayak aku, dia tadi juga ngusir aku dan segitu mudahnya dia bilang buat ngganggap aku nggak pernah kenal sama dia. Udah Don ayo pergi dari sini, aku nggak kuat” kataku dengan berlinangan air mata.
                        Setibanya dirumah, aku dan Doni berjalan menuju taman belakang rumahku. Aku dan Doni duduk di ayunan, sambil memegang tanganku Doni berkata,
“Waktu kita lelah dalam menjalani semua macam kisah dalam hidup ini, kadang kita lemah dan hanya mampu untuk pasrah, saat kenyataan tidak sejalan dengan harapan mu, atau saat keyakinan hilang dalam kepahitan, ingat Va, tetaplah tabah setidaknya kau sudah mencoba menjadi lebih baik dalam jalan hidup ini. Janganlah resah tiada waktu menjawabnya, tenang saja aku akan selalu ada saat kau butuh aku kapan pun itu”.
“Iya Don makasih tapi aku belum bisa ngelupain Erfan secepat dia mutusin aku tadi” kataku.
“Kau harus bersabar semua akan indah pada waktunya, santai saja kawan, ikuti kata hati mu biarkan sedihmu berlalu, aku yakin kau pasti bisa. Cobalah menjadi suatu hari dengan pagi yang baru. Jadi, tenang saja kawan, hadapilah semua, aku ingin menjalin hubungan denganmu Va dan itu lebih dari sekedar teman, jujur aku sayang kamu. Aku tak peduli seburuk apapun fisikmu, cintaku tak pernah peduli siapa kamu tak menginginkan kamu lebih dari apa adanya dirimu. Jadi gimana apa kamu mau jadi pacarku Va?” kata Doni.
“Tapi aku masih trauma dengan semua ini Don, aku takut kesetiaanku kamu ingkari sama halnya seperti apa yang udah dilakuin Erfan ke aku” jawabku.
“Aku ya aku Erfan ya Erfan jadi jangan pernah kamu samakan antara aku dengan Erfan, cintaku ini tulus buat kamu. Tolong jawab sekarang apa kamu mau jadi pacarku?” ujar Doni.
“Jujur saja sebenarnya aku juga suka sama kamu Don, aku  ngerasa nyaman sama kamu tapi apa daya aku dulu udah sama Erfan dan aku  mengubur dalam-dalam  rasa suka ku ke kamu. Selama ini kamu benar, aku salah udah terlalu percaya sama Erfan sampai-sampai aku nggak pernah nggubris semua omonganmu, mungkin ini saatnya aku harus ngelupain Erfan dan aku terima kamu jadi pacarku” kataku.
“Alhamdulillah..akhirnya setelah sekian lama keinginanku terwujud juga, aku nggak mau asal sekedar janji aku mau buktiin ke kamu kalau aku setia sama kamu sekarang dan selamanya”jawab Doni dengan menghapus air mata ku.
“Iya sayang, aku juga bakalan buktiin ke kamu kalau aku juga setia dengan hubungan kita” kataku dengan tersenyum.
                        Satu minggu telah berlalu, Kak Gafin yang juga sudah merestui hubunganku dengan Doni karena dia merasa senang karena setiap waktu Doni berusaha menghibur kesendirianku dengan sabarnya dia kadang menyuapiku ketika aku tidak nafsu makan, kemarin pun dia bersedia mengantarku dan Kak Gafin untuk menjenguk mama di penjara. Sampai keesokan harinya saat ujian melukis, aku hanya diam di depan kanvasku sedangkan teman-teman di kelasku menertawai sekaligus mengejek kemampuanku. Doni pun beranjak dari kursinya dan menghampiriku, dia berbisik kepadaku “Yakin kamu pasti bisa sayang, aku tahu banyak sekali imajinasi di dalam fikiranmu, meskipun kamu tidak bisa melihat tapi hati mu takkan pernah buta, kamu juga masih punya kedua tangan untuk berkarya. Buktikan kepada semua bahwa kamu tidak selemah yang mereka fikirkan”. Aku langsung memegang kuas dan mulai menggoreskan cat di kanvas dan aku memutuskan untuk melukis abstrak seperti apa yang saat ini aku rasakan. Tiga jam kemudian lukisanku telah selesai, aku terkejut karena pak guru dan juga teman-teman memberi tepuk tangan kepadaku atas hasil karyaku ini.
                        Sungguh cepat rasanya usia ku sebentar lagi sudah 17 tahun, aku penasaran dengan apa yang akan Doni berikan kepadaku, katanya kadonya sangat istimewa. Keesokan harinya tepat pada tanggal 8 Februari 2013, aku sengaja bangun tepat tengah malam untuk menunggu ucapan dari Doni tetapi lama sekali, dan akhirnya aku tertidur lagi karena masih mengantuk. Pagi harinya, tidak ada kabar apapun dari Doni aku sempat gelisah memikirkannya. Beberapa saat kemudian Kak Gafin mengajakku ke rumah sakit untuk mengontrol keadaan mataku. Kata dokter ada persediaan donor mata, aku sangat senang sekali mendengarnya, dan saat itu juga aku memutuskan untuk ingin segera di operasi secepatnya. Delapan jam kemudian operasi selesai dokter menyuruhku untuk membuka mataku dan akhirnya berhasil aku sudah bisa melihat kembali seperti dulu lagi, sungguh senang sekali rasanya aku ingin secepatnya bertemu dengan Doni untuk merayakan hari ulang tahun sekaligus hari bahagiaku ini.
                        Sesampainya dirumah Kak Gafin dengan raut wajah yang muram memberiku sebuah kado dan dia bilang kado dari Doni. Dengan penasaran aku membukanya dan ternyata isinya adalah hanya sebuah CD. Oh mungkin kejutannya sebuah video darinya fikirku. Dengan bergegas aku duduk di depan televisi dan mulai memutar CD nya. Dalam CD tersebut tergambar seorang lelaki yang sedang di operasi karena penyakit jantung, tetapi pada akhirnya dia meninggal dunia, aku bingung apa maksud dari semua ini. Tetapi setelah itu ada video Doni sedang berbaring di tempat tidur dan berkata “Gifa sayang selamat ulang tahun ya, semoga sehat dan sukses selalu. Maaf aku tidak bisa menghabiskan hari bahagiamu ini bersama-sama karena mungkin ini sudah waktuku. Aku harap kamu senang menerima kado dariku, itu semua adalah berkat kesabaran dan kerja kerasmu selama ini jadi kamu berhak menerimanya. Meskipun aku telah tiada tapi disetiap hembus nafasmu aku akan selalu menghiasi hari-harimu sehingga menjadi kian berwarna. Jaga baik-baik pemberian dari Allah yang dititipkan kepadaku ya sayang, aku sayang kamu Giva”. Sekarang aku sudah tahu maksud dari video ini, aku menangis setelah melihatnya, di sisi lain aku memang sedang bahagia tapi di sisi lain pula aku merasa semua kebahagiaan ini tiada artinya tanpa Doni di sampingku. “Ya Allah terimakasih Kau telah menganugerahkan Doni kepadaku, ini adalah sebuah hadiah terindah yang pernah dia berikan, semoga dia tenang disisi-Mu, Aminn....”
“Yang sabar ya dek, kamu harus buat Doni bangga meskipun raganya tiada lagi bersamamu. Kamu harus tegar jangan pernah buat Doni kecewa ataupun sedih melihatmu gelisah, Masih ada kakak, mama dan juga teman-temanmu yang setia bersamamu” kata Kak Gavin sambil menepuk pundakku.
“Iya kak itu pasti” jawabku dengan terisak-isak.

0 komentar:

Posting Komentar